15 Jul 2023

Akulturasi Budaya Trah Mataram Lewat Wayang Wong Catur Sagatra

Yogyakarta (15/07/2023) jogjaprov.go.id – Pementasan Wayang Wong dengan lakon ’Sumantri Ngenger’ tampil memukau dan magis dalam Pergelaran Catur Sagatra 2023 di Kagungan Dalem Bangsal Sewatama Pura Pakualaman, Sabtu malam (15/07/2023). Kesenian nan adiluhung yang dibawakan dalam keterpaduan ini dinilai mampu membaur mewujudkan akulturasi budaya Trah Agung Mataram dan sebagai tonggak penting mekarnya gerakan Renaisans Mataram.

Gelar budaya tahunan yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY ini dihadiri Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X beserta GKBRAA Paku Alam, KGPAA Mangkunegara X, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram, GRAj Ancillasura Marina Sudjiwo, KPH Notonegoro, KPH Indrokusumo dan Putra/Putri Sentana Dalem lainnya. Hadir pula anggota Forkopimda, Kepala OPD di Lingkungan Pemda DIY dan tamu undangan lainnya.

Catur Sagatra merupakan kegiatan anjangsana tahunan empat Dinasti Mataram Islam sebagai bentuk penguatan silaturahmi dan pelestarian budaya masing-masing. Keempat Dinasti Mataram Islam yakni Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Keraton Kasunanan Surakarta, Pura Pakualaman dan Pura Mangkunegaran.

"Apabila dimaknai secara mendalam, Catur Sagatra adalah konsep kosmologi Jawa yang bertumpu pada aspek mikro dan makrokosmos. Meski masing-masing memiliki fungsi dan peran tersendiri, namun tetap dalam konteks satu keutuhan Gatra yang saling melengkapi," ujar Sri Paduka membacakan sambutan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X

Dengan pengertian 'Kesatutubuhan' itu, Sri Paduka menyampaikan dapat dipetik makna keempat Dinasti Mataram sudah saatnya 'gumregah ' melakukan Renaisans 'Catur Sagotrah' secara berkelanjutan demi manunggalnya ikatan kekerabatan Trah Agung Mataram. Maknanya seiring dengan pergelaran tari yang menggambarkan ikatan kultural tersebut. Harapannya bisa bermuara pada ikatan kekerabatan, seiring 'gareget', 'lungguh, sêngguh, tangguh', 'sawiji, grégêt, sêngguh, ora-mingkuh' dan 'hanêbu sauyun'.

" Gareget inilah yang selayaknya diikuti keterpaduan sinergis budaya-budaya unggul yang dimiliki Trah Paku Buwono dalam olah-seni tari, Trah Hamengku Buwono dalam olah-kepemimpinan, Trah Pakualaman dalam olah-pawiyatan dan Trah Mangkunegaran dalam olah-kapujanggan. Keterpaduan budaya itulah sejatinya merupakan wujud gerakan Renaisans Mataram," ungkapnya.

Sri Paduka juga menaruh harapan besar, budaya-budaya unggul itu dapat disegarkan maknanya seiring perubahan zaman, tanpa meninggalkan makna sejatinya. Nilai-nilai inilah yang selanjutnya di aktualisasi kepada masyarakat sebagai panduan moral dan perekat kohesi sosial serta menjadi sumbangsih nyata Catur Sagatra untuk Indonesia.

"Saya ucapkan terima kasih dan apresiasi kepada ketiga pemangku budaya Mataram, Sri Sultan HB X, Sri Susuhunan PB XIII dan KGPAA Mangkunegara X. Sehingga momen ini mampu menginspirasi akulturasi budaya Trah Agung Mataram sebagai tonggak penting berkembang dan mekarnya Gerakan Renaisans Mataram," tuturnya.

Pergelaran Catur Sagatra 2023 yang didukung penuh Dana Keistimewaan (Danais) ini melibatkan 200 pelaku seni gabungan dari masing-masing istana. Kegiatan ini mengingatkan kembali betapa adiluhung etika dan estetika kesenian klasik Mataraman serta media menyatunya kembali Catur Sagotrah keluarga besar Trah Agung Mataram. Selanjutnya terjaganya silaturahmi budaya antar trah Mataram melalui ajang pergelaran seni, sebagai showcase bagi masyarakat untuk dapat berkesenian.

Kepala Disbud DIY Dian Lakshmi Pratiwi mengatakan gelar budaya Catur Sagatra merupakan pentas tari klasik ragam seni gaya Surakarta, Ngayogyakarta, Pura Pakualaman dan Pura Mangkunegaran Surakarta. Tujuannya menggali sejarah masa silam betapa adiluhung peradaban Mataram, wahana berbagi estetika tari dan upaya meresapi ajaran etika dan kehidupan.

"Kegiatan ini perlu diapresiasi dan diberi ruang untuk menuju rekonsiliasi budaya manunggalnya kembali Trah Mataram.
Seni tari klasik bersifat luwes dan lentur, tetapi magis filosofis. Memiliki nilai keadiluhungan Sawiji, Greget, Sengguh, Ora mingkuh untuk Tari Gaya Yogyakarta dan Lungguh, Sengguh, Tangguh untuk Tari Gaya Surakarta," tuturnya.

Dian menyebut sekilas pergelaran ini beda dengan pentas Catur Sagatra pada tahun sebelumnya yang mana masing-masing istana menampilkan tarian masing-masing secara terpisah. Kali ini mementaskan satu pertunjukan wayang wong dengan lakon Sumantri Ngeger yang digarap secara kolaborasi dengan menampilkan ragam tari dan karawitan masing-masing istana.

“ Gelaran akbar budaya ini menjadi salah satu pusat aktivitas pengembangan budaya dari empat Keraton dinasti Mataram di Yogyakarta dan Surakarta. Selain itu, Catur Sagatra sekaligus menjadi momentum yang sangat strategis dan tepat untuk mengenalkan budaya warisan leluhur berupa seni tari,” tutur Dian.

Pertunjukan ini menceritakan tentang Bambang Sumantri, putra Begawan Suwandagni dari Pertapaan Jatisrana yang berparas sangat tampan dan mempunyai kesaktian tiada tara. Sumantri mempunyai adik Raden Sukrasana berwujud raksasa yang menyeramkan. Suatu hari, Sumantri disuruh ayahnya mengabdi kepada negara Maespati dan dititipi senjata cakra untuk dikembalikan ke Raden Arjuna. Sukrasana ingin ikut Sumantri ke Maespati, tetapi tidak diizinkan.

Di negara Maespati, Sumantri langsung mengutarakan niatnya untuk mengabdi. Raden Arjuna menerima dengan syarat Sumantri bisa memenangkan sayembara yang diadakan Dewi Citrawati dari negara Magada. Sumanti setuju mengikuti sayembara. Dengan menggunakan senjata cakra yang dibawanya, Sumantri berhasil mengalahkan para raja saingannya dan berhasil memperistri Dewi Citrawati.

Sumantri menjadi sombong karena dapat mengalahkan para raja. Kemudian Sumantri menantang Raden Arjuna kemudian terjadilah pertempuran. Di tengah-tengah perkelahian, Sumantri mengeluarkan senjata cakra yang dibawanya. Raden Arjuna marah karena cakra itu adalah senjatanya kemudian Raden Arjuna menjelma menjadi raksasa dan mengalahkan Sumantri.

Lantas Sumantri diminta memindahkan Taman Sriwedari ke negara Maespati. Akhirnya dengan bantuan Sukrasana, taman itu dapat dipindahkan dan Sumantri dapat diterima menjadi patih di Maespati. Sumantri malu mengajak Sukrasana ke Maespati sehingga ia ditinggal di Taman Sriwedari.

Ketika Dewi Citrawati melihat Sukrasana, dia ketakutan dan segera melapor kepada Raden Arjuna. Kemudian Raden Arjuna menyuruh Sumantri membunuh raksasa tersebut yang notabene adiknya. Dengan segera Sumantri mengusir Sukrasana, tetapi Sukrasana tak mau pergi. Akhirnya Sukrasana menubrukan diri pada senjata Sumantri. Sang adik ikhlas mati demi derajat, pangkat, kesaktian dan kebahagian kakaknya.

Masyarakat dapat menyaksikan Gelar Budaya Catur Sagatra pementasan Wayang Wong Sumantri Ngeger secara live streaming di kanal YouTube Humas Jogja dan tasteofjogja. Sementara itu, masyarakat yang ingin menyaksikan langsung menonton bersama dari layar lebar yang disediakan di Alun-Alun Sewandanan. (Fn/Hr/Im)
HUMAS DIY

Bagaimana kualitas berita ini: