09 Mar 2024

Keraton Yogyakarta Kenalkan Upacara Adat Dalam Simposium Internasional

Sleman (09/03/2024) jogjaprov.go.id - Kraton Yogyakarta kembali menggelar International Symposium on Javanese Culture atau Simposium Internasional Budaya Jawa yang ke 6 bertajuk 'Traditional Ceremonies in the Sultanate of Yogyakarta ' atau Upacara Adat di Keraton Yogyakarta di The Kasultanan Ballroom Royal Ambarrukmo Yogyakarta pada Sabtu (09/03) hingga Minggu (10/03). Tema tersebut dipilih untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman upacara adat yang berlaku di Kraton Yogyakarta.

Kegiatan rutin tersebut merupakan salah satu agenda peringatan Ulang Tahun Ke-35 Kenaikan Takhta atau Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas dalam tahun masehi yang diperingati setiap tanggal 7 Maret. Tema simposium selaras dengan pameran temporer awal tahun yang digelar Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nityabudaya yaitu upacara adat.

Penghageng Kawedanan Tandha Yekti sekaligus Ketua Panitia GKR Hayu mengatakan dua ratus tahun lebih keraton berdiri, dinamika sosial sampai lompatan masa transisi pra dan pasca kemerdekaan Indonesia telah membuat banyak perubahan kebijakan dan berdampak pada penyelenggaraan upacara adat di keraton. Beragam penyesuaian dan penyederhanaan dilakukan, namun esensi upacara masih terus dijaga hingga kini. Ritual dan hiruk pikuk upacara adat juga perlahan menjadi rujukan wisata.

" Secara umum, pelaksanaan adat di keraton berlaku secara turun temurun, mengandung beragam nilai filosofis dan bersumber dari kearifan lokal. Setiap tahapan menuntun nilai kesadaran dan kebersamaan antara keraton hingga masyarakat. Semua bermuara pada Hamemayu Hayuning Bawono, memperindah keindahan dunia yang mewujudkan ikatan relasi, komunikasi dan harmoni kepada Sang Pencipta, sesama manusia dan alam sekitar sebagai bentuk keseimbangan semesta raya," tuturnya.

Gusti Hayu menyampaikan berbagai paparan dengan studi keilmuan seperti antropologi, filosofi, sejarah, politik dan lainnya baik dari pemikir dalam dan luar negeri bisa saling bertukar pendapat serta membuka kembali wawasan budaya Jawa. Selama dua hari, berbagai paparan dengan berbagai studi keilmuan baik dari pemikir dalam dan luar negeri saling bertukar pendapat serta membuka kembali wawasan terkait budaya Jawa.

Para panelis yang terpilih melalui mekanisme call for paper akan memaparkan hasil penelitiannya terkait tema lalu dibagi dalam 4 sub-tema berupa sejarah, seni dan pertunjukan, daur hidup serta lintas budaya yang terbagi dalam dua hari penyelenggaraan simposium.

"Total ada sekitar 96 call for paper yang mengirimkan kemudian kami saring dalam dua tahap. Yang membedakan simposium ini dengan lainnya, dimana kami benar-benar mengarahkan peserta dibimbing para reviewer hingga tulisan akhirnya jadi. Inilah yang menjadi seleksi kedua, hingga akhirnya terpilih para panelis atau presenter yang memaparkan karya tulisnya dua hari ini,” ungkap putri keempat Raja Keraton Yogyakarta tersebut.

Turut hadir di simposium GKR Bendara dan KPH Notonegoro beserta perwakilan pemerintah, Pura Pakualaman, Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, jajaran Forkopimda , serta rektor dari beberapa universitas mitra Keraton Yogyakarta. Selain dihadiri secara luring, hadir pula secara online beberapa duta besar RI untuk Suriname, Ceko, Finlandia serta beberapa perwakilan dari KBRI dan KJRI.

Acara simposium dibuka dengan sajian Srimpi Wiraga Pariskara persembahan Kawedanan Kridhamardawa Keraton Yogyakarta. Srimpi Wiraga Pariskara sendiri merupakan karya srimpi pertama Sri Sultan HB X selama bertakhta. Tari ini diciptakan khusus untuk pembukaan simposium yang mana sesuai dengan tema acara, terinspirasi dari upacara adat Tetesan.

“Sesuai perintah dari Ngarsa Dalem untuk membuat karya srimpi baru yang mengadopsi upacara Tetesan. Karena upacara Tetesan sendiri memang sudah jarang dilakukan di masyarakat,” imbuh Penghageng Kawedanan Kridhamardawa sekaligus penanggung jawab pementasan tari KPH Notonegoro.

Srimpi Wiraga Pariskara yang ditarikan 4 penari perempuan dewasa yang berperan sebagai penganthi dan 2 penari gadis cilik yang berperan sebagai anak perempuan yang melakukan upacara tetesan ini memukau para peserta dan tamu undangan yang hadir dalam hari pertama Simposium Internasional Budaya Jawa.

" Semoga simposium ini dapat kembali membangkitkan semangat pembelajaran budaya dan ilmu pengetahuan Jawa secara meluas bagi generasi dan masa yang akan datang. Juga pengingat akan tradisi adiluhung sebagai bentuk penghargaan leluhur dan sejarah yang turut membangun di belakangnya. Mari kembali menegakkan semangat 'nguri-uri kabudayaan' sebagaimana yang selama ini kita gaungkan," pungkas Gusti Hayu.
(Fn/Ts)

HUMAS PEMDA DIY

Bagaimana kualitas berita ini: