07 Agt 2023

Menilik Monumen Antroposen, Proyek Budaya Berbahan Sampah Plastik

Bantul (07/08/2023) jogjprov.co.id - Permasalahan sampah menjadi suguhan tematik dan santer di DIY akhir -akhir ini. TPA Piyungan yang menerima kiriman 800 ton sampah dari Kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul setiap harinya sudah overload. Ketika Yogyakarta darurat sampah maka banyak bermunculan protes tentang budaya membuang sampah yang tidak berbudaya. Sementara itu, dalam kerja senyap, cukup banyak aksi mengolah sampah dengan proses budaya menjadi produk budaya.

Problematika ekologi tersebut direspon Iwan Wijono, Franziska Fennert, Ignatia Nilu dan Dhoni Yudhanto dengan membangun instalasi raksasa berdinding batu bata plastik secara bertahap dari material sampah plastik sejak 2021. Proyek seni budaya ini dinamakan Monumen Antroposen yang berlokasi di Sentulrejo RT 03, Bawuran, Pleret, Bantul atau 200 meter dari Kompleks TPA Piyungan (area Dam Side Piyungan).

Kawasan yang menempati lahan seluas 6 hektar ini dirancang sebagai sentra kreatif ekonomi sirkular yang dilengkapi dengan infrastruktur untuk upcycling dan distribusi sampah serta pelatihan keterampilan daur ulang plastik untuk pelestarian lingkungan hidup. Kerja kolaborasi ini didukung Goethe Institut Jerman, Forum Upcycle Indonesia, Pemkab. Bantul, Masyarakat Kelurahan Bawuran, Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY dan lainnya.

Kurator Monumen Antroposen Ignatia Nilu menyampaikannya monumen ini lahir dari gagasan yang menggabungkan seni budaya, wawasan ekologi dan ekonomi sirkular di tengah tantangan ekologi sampai persoalan sampah plastik. Ketiga pilar dikolaborasikan sehingga muncul ekosistem kreatif baru yang pusatnya berupa instalasi raksasa dengan material sampah plastik. Bahan baku material pembuatan dinding monumen dari sampah plastik yang dipanaskan lalu dipress dan dibentuk menyerupai batu bata. Setiap batu bata plastik dibuat dari 6 kg sampah plastik.

" Lingkungan kita sedang tidak baik - baik saja, kita dihadapkan dengan permasalahan sampah beberapa waktu ini. Sebagai penyadaran, kami butuh material yang inovatif dan dikelola sendiri berupa batu bata plastik yang bisa dimanfaatkan. Warga sekitar yang notabene pemulung pun dilibatkan belajar mengolah sampah plastik sehingga kelak muncul unit produksi baru," ujar Nilu yang juga Anggota Dewan Kebudayaan DIY ini saat ditemui di Museum Antroposen, Jumat sore (04/08/2023).

Salah satu seniman inisiator monumen sekaligus anggota Forum Upcycle Indonesia, Iwan Wijono mengatakan program pembangunan monumen ini sangat cocok dengan keistimewaan Yogyakarta sebagai pusat budaya Jawa. Masyarakat adat memahami kehidupan itu maju dan pembangunan itu sukses dengan menjaga harmoni diri dengan alam leluhur. Kemudian terjadi pergeseran ketika menjadi masyarakat modern pasca revolusi industri menumpuk capital, investasi dan melebarkan pasar secara global. Hutan dihabiskan, desa menjadi kota kecil, berkembang terus kemudian produksi dan konsumsi itu ada residunya merusak alam.

"Hal ini tidak terjawab pada keistimewaan Yogyakarta. Jika leluhur menggunakan konsep tumpang sari dan Eropa ada ekonomi sirkular, konsep ini bisa di model kan pada Monumen Antroposen. Produksi dan konsumsi ada sentuhannya disini yang terhubung dengan filsafat seni budaya Jawa kontemporer kekinian dan bisa menjadi pusat pertemuan dunia untuk membahas itu," tandasnya.

Senada, Franziska Fennert, seniman asal Jerman menegaskan literasi lingkungan sangat penting demi keberlanjutan. Hal ini tidak bisa dilakukan sendiri tetapi harus berkolaborasi bersama dengan banyak pihak, khususnya Pemerintah. Dibutuhkan pula kesadaran warga untuk memilah sampah yang notabene bahan baku supaya mempunyai nilai yang paling tinggi maupun kesadaran orang yang jemput supaya semua bahan bisa ketempat pengolahan masing-masing, salah satunya disini.

"Tak hanya itu, monumen ini bisa menjadi tempat kontemplasi atas kegagalan bersama peradaban. Masalah sampah plastik harus dicarikan solusi berkelanjutan sampai akhirnya menjadi pola pikir kesadaran bersama," tandasnya.

Arsitek Monumen Antroposen
Dhoni Yudhanto menjelaskan kompleks monumen ini sementara terdapat empat bangunan, yaitu monumen sebagai bangunan utama dan tiga bangunan pendukung berupa rumah produksi dan makerspace, rumah sortir serta fasilitas umum. Konsep desain monumen yang full cover batu plastik dengan struktur utama beton bertulang ini mengelaborasi tiga bangunan monumental di dunia yakni Candi Sukuh Karanganyar Jawa Tengah, Piramida Djoser atau Saqqara Mesir dan Piramida Kukulcan Yucatan Meksiko.

"Kompleks monumen ini sekaligus diharapkan menjadi pusat kebudayaan dan aktivitas masyarakat setempat. Karena kita ingin mengedukasi masyarakat melalui pendekatan seni budaya tidak melulu dengan mengadakan seminar.dan sebagainya.
Pengembangan kompleks monumen ini masih sangat panjang dan tidak hanya berhenti di limbah plastik tetapi semua limbah bisa diolah disini kedepannya,"ungkap Dhoni.

Kepala Disbud DIY Dian Lakshmi Pratiwi menyatakan monumen ini adalah suatu proyek budaya yang mengkolaborasikan lingkungan dengan sampahnya dan seni budaya. Melalui mesin pengolahan sampah plastik jadilah material bangunan dan berbagai karya budaya lainnya. Monumen ini bisa terwujud berkat proses edukasi dan sosialisasi tentang sampah dan budaya yang cukup lama dikondisikan.

"Muncul kesadaran bersama bahwa ancaman sampah bisa menjadi peluang. Inilah yang dimaksud dengan kerja budaya yang sesungguhnya, ketika proses dihargai sebagai bagian untuk mencerahkan akal dan pikiran. Proses ini menjadi tanggungjawab bersama, tidak semata pemerintah," pungkas Dian. (Fn/Im/Hr/Sd)

Bagaimana kualitas berita ini: