23 Jun 2021
  Editor Berita, Kebudayaan,

Sinergi Ngayogyakarta-Surakarta Lestarikan Budaya Jawa

Yogyakarta (23/06/2021) Jogjaprov.go.id - Mataram, karena politik devide et impera Belanda dan Inggris terpecah menjadi empat kerajaan. Catur-Sagatra masing-masing adalah Ngayogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Namun, generasi masa kini harus melupakan sejarah yang berujung perpecahan. Bersinergi bersama untuk membangkitkan ruh “sultan-agungan” dan meneruskan pengetahuan terhadap budaya dan tradisi pada generasi selanjutnya.

“Kita banyak sekali budaya-budaya, salah satunya aksara. Menjadi PR kita bersama, PR yang selalu jadi tugas adalah bagaimana kemudian memaknai budaya itu sendiri, yang sekarang rupanya di generasi muda ini, banyak sekali dilupakan,” ungkap GKR Mangkubumi dalam acara Dialog Budaya dan Seni.

Dialog Budaya dan Seni “Yogyasemesta” Seri-139 mengangkat topik “Memaknai Budaya Jawa, Menguatkan Pilar Kebangsaan”. Acara ini dihadiri oleh GKR Mangkubumi, GKR Hayu, KPH. Notonegoro, GRAj. Ancillasura Marina Sudjiwo, Prof. Sardono W. Kusumo, dan pegiat budaya. Talkshow yang dimoderatori oleh Hari Dendi ini berlangsung di nDalem Tjokronegaran, Kemantren Keraton, Yogyakarta, Selasa (21/06) malam.

Keraton Yogyakarta, Kasunanan Surakarta serta Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Paku Alaman merupakan pusat museum hidup kebudayaan Jawa. Tidak hanya menjadi tempat tinggal semata, empat Istana Jawa ini juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa. Oleh karenanya, menyebarluaskan pengetahuan kepada masyarakat soal budaya yang dimiliki merupakan upaya yang terus dilakukan.

Mewujudkan kerajaan sebagai Pusat Kebudayaan Jawa dengan melestarikan seni tari, membangun perpustakaan/museum berbasis digital, menggelar pertunjukkan budaya dengan konsep masa kini, adalah beberapa hal yang dilakukan untuk menjaga nilai yang melekat di dalamnya. Sehingga bisa membangkitkan minat generasi muda pada warisan budaya sendiri.

“Generasi muda mulai lupa dengan budaya, kesenian tradisional alangkah baiknya jika tetap dilestarikan dan jangan sampai lupa. Mungkin bisa dengan mengakulturasi budaya seperti membuat even tradisi dipadukan dengan teknologi, mengembangkan kesenian supaya lebih ramah dengan generasi muda,” ujar GRAj. Ancillasura Marina Sudjiwo.

Di lingkungan semua Kerajaan setidaknya kita mengenal ajaran filosofis "Sangkan Paraning Dumadi" dan "Hamemayu-Hayuning Bawana" yang menjadi basisi pondasi kerajaan. "Manunggaling Kawula-Gusti" dan "Golong-Gilig Tekad Nyawiji" sebagai ajaran kepemimpinan yang merakyat, diaktualisasikan oleh Sri Sultan HB IX menjadi "Tahta untuk Rakyat". Sekarang adalah saatnya untuk membumikan nilai-nilai ajaran tersebut. Tidak hanya dimaknai secara harfiah, namun diwujudkan secara kontekstual sesuai dengan perkembangan zaman.

“Memang ada kesenjangan antara apa yang berkembang di Kraton dan Kadipaten dengan apa yang berkembang di masyarakat. Sekarang masyarakat bisa memilih pertunjukan dari seluruh dunia, kesenjangannya semakin besar. Saya mempunyai optimisme, dengan kemudahan akses konten bisa menarik minat generasi muda,” terang KPH. Notonegoro.

Tantangan yang dihadapi kemudian adalah kesiapan  untuk bisa menyediakan konten-konten tersebut. KPH. Notonegoro memberikan contoh dari apa yang telah dilakukan Kraton dengan membuat akun media sosial seperti Instagram dan Youtube. Tidak hanya memiliki akun, tapi juga bisa menyajikan konten menarik secara kontinu.

“Jogja tidak boleh melupakan adat istiadat dan budaya, menghargai tradisi. Kolaborasi Jogja dan Solo bisa dilakukan oleh generasi sekarang,” ujar GKR Mangku. Pada masa Sultan Agung, telah dibangun konsep dasar Kebudayaan Jawa yang khas. Setelah dikembangkan oleh Sri Sultan HB I dan dilanjutkan oleh Sri Sultan HB IX, kemudian menjadi dasar kebudayaan Kraton Yogyakarta. Oleh sebab itu Kraton mendapat pengakuan sebagai Pusat Kebudayaan.

Dialog ini adalah sebuah rintisan awal yang diharapkan bisa dikembangkan pada momentum Catur-Sagatra yang digagas Dinas Kebudayaan (Kundha kabudayan). Menjadi rangkaian kegiatan dalam perjalananan mewujudkan Pusat Studi Mataram. Melibatkan ahli trans disiplin dari kampus-kampus yang ada di Yogyakarta dan Surakarta. Bertujuan untuk menyatukan kembali "Semangat Mataram". Dalam rangka menyongsong terbangunnya Trah Agung Mataram yang kumawula sebagai binding power Kota Kembar “Surakarta-Ngayogyakarta”. (Wd)

 

HUMAS

Bagaimana kualitas berita ini: