06 Feb 2024
  Humas DIY Berita,

Wujudkan Keamanan dan Kenyamanan, Pemimpin Harus Rawat Kemajemukan

Jakarta (06/02/2024) jogjaprov.go.id – Sebagai pemimpin daerah, kemajemukan tidak hanya harus dihargai melainkan juga perlu dirawat dengan segala persoalan yang ada. Rasa aman dan nyaman bagi seluruh lapisan masyarakat harus terjamin, bukan hanya pada kelompok-kelompok tertentu.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan hal demikian saat menjadi keynote speaker dalam Seminar Nasional bertajuk Rakyat Mencari Pemimpin yang digelar oleh Indonesia Satu Foundation pada Selasa (06/02) di Balairung Kirana Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Sri Sultan mengatakan, atas pengalaman 23 tahun memimpin daerah DIY, Bhinneka Tunggal Ika menjadi strategi atau pendekatan kebudayaan yang digunakan dalam merawat kemajemukan seluruh kelompok yang ada di DIY.

“Bhinneka Tunggal Ika menjadi strategi kebudayaan dari pengalaman saya 23 tahun mencoba menjaga rasa aman dan nyaman bagi siapapun yang mayoritas maupun minoritas yang ada. Kita harus punya sikap untuk tidak memihak. Membangun dialog kepada macam-macam suku, agama, anak-anak muda yang punya dinamika dan aspirasi bermacam-macam. Dari situ saya mencoba untuk mau mendengar, mau berdiskusi, menerjuni sendiri dengan harapan bagaimana yang berbeda-beda itu merasa aman dan nyaman tinggal di Jogja. Itu prinsipnya,” jelas Sri Sultan.

DIY sendiri menjadi tempat belajar bagi ratusan ribu pelajar dari beraneka suku yang ada di Indonesia. Dialog pun menjadi jembatan Sri Sultan untuk menampung berbagai aspirasi yang dilontarkan. Setiap 4 bulan sekali, Pemda DIY juga turut memfasilitasi penyelenggaraan aktivitas budaya dari para mahasiswa yang bermukim di asrama-asrama untuk bertemu bersama, tidak sekadar mengenal sebagai teman satu kampus tetapi juga untuk menghargai budaya satu sama lain.

“Setiap tahun, kami mesti mendapatkan report menyangkut jumlah mahasiswa yang ada di Jogja. Sebelum COVID itu di atas 300.000 mahasiswa itu. Yang terbesar justru dari Papua yaitu 6.000 orang, baik itu yang S1, S2 ataupun S3. Mungkin orang Jogja hanya 10% atau maksimum 15%. Jadi di Jogja ini aspirasinya sangat dinamis,” ujar Sri Sultan.

Menurut Sri Sultan, selama ini pada kenyataannya yang seringkali terjadi ialah kelompok yang berbeda dan merasa minoritas lah yang harus menyesuaikan menjadi satu dengan kelompok mayoritas yang ada di suatu daerah. Padahal, kelompok yang mayoritas pun sudah semestinya mengakui, menghargai, dan merawat kelompok yang berbeda dan merasa minoritas tersebut dalam berkehidupan bermasyarakat dengan tetap mempertahankan budaya kelompoknya.

“Bangsa kita ini majemuk, jadi pimpinan daerah memang harus hati-hati dan juga mau memahami apa yang terjadi, kegelisahan yang ada di lapangan. Harapan saya, dalam kebijakan itu mestinya menghargai kemajemukan itu sendiri. Mestinya seorang pemimpin bisa memajukan masyarakatnya, bisa melindungi masyarakatnya, dan juga dikatakan adil karena kalau memang hukum itu ditegakkan, tanpa melihat siapapun dirinya,” tutur Sri Sultan.

Dalam merawat kemajemukan yang ada di DIY, Sri Sultan juga menyebutkan, salah satu upaya dilakukan melalui pembentukan Jaga Warga. Keberadaan Jaga Warga pun dimaksimalkan untuk mewujudkan ketertiban masyarakat dari level paling bawah.

Setiap kelompok Jaga Warga berjumlah maksimal 25 orang di setiap kampung dengan tugas membantu dalam menyelesaikan konflik sosial. Mereka juga bertindak sebagai perwakilan warga dalam menyampaikan aspirasi, membantu pranata sosial masyarakat, serta ikut menjaga ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat.

“Dengan Jaga Warga yang kita bentuk, kira-kira sudah 8 bulan ini tidak ada berita (persoalan sosial) lagi. Begitu kita melakukan studi, 83% turun. Karena mereka yang mengingatkan warganya sendiri bukan perangkat,” kata Sri Sultan.

Menghadapi tahun politik, Sri Sultan mengutarakan, pemimpin daerah yang menjadi anggota suatu partai politik diharap dapat bersikap adil dalam memimpin warganya. “Bagi saya bagaimana seorang kepala daerah itu begitu menjadi pimpinan di daerahnya jangan hanya bisa mengibarkan benderanya sendiri, tetapi harus bisa mengibarkan bendera yang lain. Karena sekecil apapun bendera itu punya masa, tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Jadi perlu didengar,” ungkap Sri Sultan.

Pada kesempatan tersebut, Chairman Indonesia Satu Foundation Freddy Ndolu sebagai penyelenggara Seminar Nasional bertajuk Rakyat Mencari Pemimpin mengutarakan, narasumber yang hadir dalam seminar tersebut dianggap sebagai representasi pemimpin yang memiliki integritas, profesionalitas dan personalitas. Seminar ini diharap mampu menyalurkan sejumlah rekomendasi dari dan oleh Lider untuk memberikan arah jalan bangsa melalui pemilu legislative, pilpres, dan pilkada yang tahun ini diselenggarakan.

“Pada 8 Juni tahun 2012, Jogja menjadi tuan rumah seminar nasional dan komitmen pemimpin Pancasila sekaligus lahirnya majalah Lider, yang dilaunching perdana oleh Sri Sultan di Bangsal Srimenganti, Keraton Yogyakarta. Bagi kami, ini menjadi pondasi kami berpijak hingga saat ini. Tema rakyat mencari pemimpin ini adalah suatu tema yang bagi kami sangat strategis dan dalam maknanya,” ucap Freddy. (Han/Alh/Dna)

Humas Pemda DIY

Bagaimana kualitas berita ini: